Kamis, 20 Oktober 2011

Kulonprogo (Segera) Naik Kelas

Oleh : Marwanto
(Dimuat Harian Kedaulatan Rakyat, 15 Oktober 2011)
Di tahun 2000-an, di kalangan aktivis pembangunan Kulonprogo sempat beredar wacana mengganti nama Kabupaten Kulonprogo menjadi Yogya-Barat. Ide tersebut mengacu Jakarta. Kita tahu, Provinsi DKI terbagi dalam: Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur. Sebagai kota metropolitan, tak jarang Jakarta dijadikan acuan untuk mengembangan kawasan lain. Sebab Jakarta adalah kota yang paling dinamis dengan perkembangan yang cepat.
Karena itu logis jika salah satu argumen dari pihak yang mengusulkan perubahan nama tersebut adalah memudahkan pengembangan daerah (kabupaten) di Kulonprogo. Menurut para aktivis pembangunan saat itu, nama Kabupaten Kulonprogo (juga kabupaten lain di DIY) kurang komersil bagi telinga investor. Seorang pengembang dari ibu kota pernah bercerita ia telah berulangkali melakukan perjalanan Jakarta-Yogyakarta (dalam hal ini lewat jalur darat) tapi ia tak merasa telah melewati sebuah daerah (kabupaten) yang bernama Kulonprogo. Setelah melewati Purworejo, ia (investor tadi), tahunya hanya memasuki sebuah daerah Yogya bagian barat, setelah itu terus masuk Yogya.
Dari pengakuan pengembang itulah, ide penggantian nama Kulonprogo menjadi Yogya-Barat bermula. Saat itu, meski dalam pertemuan tidak formal, teman-teman FLPP se DIY juga sepakat untuk melontarkan wacana tentang penggantian nama kabupaten di seluruh DIY mengacu pada nama-nama kota yang ada di Jakarta. Sleman diganti Yogya-Utara, Bantul diganti Yogya-Selatan, Gunung Kidul diganti Yogya-Timur, dan Kota Yogyakarta diganti Yogya-Tengah.
Memang, lontaran wacana tersebut kurang direspon publik. Mungkin disebabkan saat itu orang masih disibukkan masalah politik dan hukum. Tapi kini, ketika masyarakat mulai jenuh pada euforia politik, mungkinkah ide tersebut mendapat dukungan yang cukup semarak ? Hanya waktu yang akan menjawab. Yang jelas, catatan kritis yang perlu dikemukakan disini adalah bahwa ide penggantian nama-nama kabupaten itu menunjukkan adanya arus gerak urbanisasi yang nyata.
Dalam konteks ini, urbanisasi tidak hanya dilihat sebagai perpindahan (atau mengalirnya) manusia dari desa ke kota. Tapi, esensi urbaniasasi adalah adanya “peng-kota-an” atau munculnya kota-kota di seluruh kawasan. Timbulnya kota adalah dengan proses gerak sentrifugal: dimulai dari yang paling dekat dengan pusat/ perbatasan kota kemudian menyebar ke seluruh penujuru.
Hadirnya urbanisasi seiring dengan arus deras kapitalisme yang melanda negeri kita. Sebagaimana diungkap oleh Karl Marx dalam Das Kapital (terbit 1867), kapitalisme merupakan fenomena sentral kehidupan modern. Lebih jauh, pemikir sosial yang lahir tahun 1818 (setahun setelah pemikir ekonomi David Richardo meluncurkan buku The Principles of Political Economy) itu menjelaskan bahwa fenomena kapitalisme dapat dicermati dari bekerjanya uang, modal, dan komoditas.
Menurut Marx, uang dan modal adalah penggerak adanya komoditas. Tapi dalam perjalanan waktu, karena sifatnya yang lebih fleksibel, uang-lah yang menjadi penentu arah bekerjanya kapitalisme. Alhasil, membicarakan kapitalisme adalah membicarakan uang. Dan membicarakan uang adalah membicarakan kota. Mengapa ? Sebab, sekitar 80% uang yang ada di negeri kita beredar di Jakarta. Sementara di tiap-tiap daerah, 80% uangnya beredar di kawasan kota. Jadi, kota adalah perwujudan yang nyata dari kultur kapitalisme. Bahkan para pemikir sosial memandang kota adalah konsekuensi fisik dan sosial sekaligus dari kapitalisme.
Kultur kota yang merupakan konsekuensi fisik dan sosial dari kapitalisme tersebut ternyata tak hanya menyebabkan kota sebagai ranah yang dinamis. Ada implikasi lain yang perlu dikritisi. Sebab, kapitalisme dengan industrialisasi sebagai “ruhnya”, secara psikologis sering menghadirkan khayal (ilusi) bagi manusia. Tidak saja gedung pencakar langit, tower yang menjulang angkuh, serta jalan tol yang mulus, tapi juga papan reklame dan ribuan etalase lainnya, adalah pesona yang mendorong manusia mencipta khayal.
Reaksi awam saat terpesona kultur kota mungkin bisa dianalogikan kisah ini: ketika ada gadis kampung dari pedalamam Gunung Kidul atau Kulonprogo jalan-jalan di Malioboro dan memandang gemerlap reklame (Dian Sastro yang mengiklankan sabun misalnya), ia sejatinya tak hanya berhenti menatap seorang Dian Sastro. Dalam file otaknya lambat laun terbentuk ide kecantikan yang sempurna, yang mereka idamkan. Kebetulan yang hadir saat itu adalah Dian Sastro.
Maka saat ia pulang kampung, lahirlah trend meniru apa yang dipakai dan dilakukan artis tadi. Kalaupun tak secantik Dian Sastro, ia cukup bangga menggosokkan sabun yang dipakai artis tadi. Itulah reaksi awan (orang kebanyakan) dalam menghadapi konsekuensi kapitalisme. Dalam ketidakmampuan (kondisi riil SDM belum kapabel), dengan ilusi (khayalnya) orang mencipta imej atau citra dalam kesemuan (pseudo). Ironisnya, apa yang semu acapkali dipandang sebagai realitas lalu dijadikan dasar/pijakan bertindak.
Dari penggambaran di atas, apakah ide penggantian nama-nama kabupaten yang ada di DIY sekedar seperti reaksi awan ketika terpesona dengan konsekuensi kapitalisme sehingga dengan ilusinya menciptakan sesuatu yang semu ? Tentu kita tidak serta merta menganganggapnya demikian. Sebab dalam perspektif sosiologi pembangunan, hidup manusia modern ini memang terbangun atas tiga kaitan: yakni sektor bisnis, badan publik dan komunitas. Dari sinilah maka paling tidak ada dua hal yang perlu dicermati.
Pertama, harus adanya keterkaitan sinergis dan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara ketiga sektor tersebut. Apakah sekarang hal itu telah terjadi? Jawabannya belum. Sebab, dalam beberapa penelitian dan analisis menunjukkan adanya keterlepasan kinerja sektor bisnis dari poros badan publik dan komunitas. Dengan kata lain, demi urusan bisnis maka apa-apa yang berhubungan dengan eksistensi sebuah komunitas sedikit banyak bisa diabaikan. Padahal sejatinya, komonitaslah yang menjadi titik balik dari seluruh kinerja ketiga unsur tersebut. Kata pepatah lama, pembangunan itu untuk manusia bukan manusia untuk pembangunan.
Kedua, penyiapan SDM atau infra-struktur komonitas (baca: kawasan lokal). Bukannya bersikap pesimis, tapi kiranya saat ini infra-struktur kawasan lokal (non-perkotaan) masih perlu pembenahan untuk menghadapi konsekuensi kapitalisme. Dan pembenahan atau pengembangan itu seharusnya berpacu sekurang-kurangnya pada tiga hal: intelektualitas (pinter), moralitas (bener), dan profesionalitas (pener). Tanpa ketiga hal itu terbangun seimbang maka urbanisasi hanya menimbulkan kompeksitas permasalahan, utamanya permasalahan sosio-kultural yang mendasar karena menyangkut perubahan tata nilai dalam sebuah masyarakat.
Kalau dua hal di atas berjalan, maka ide penggantian nama bukanlah sesuatu yang primer sifatnya. Ia hanya bersifat mengikuti saja. Ibarat anak kita saat harus pindah dari SMP ke SMA, dengan sendirinya ia akan memakai celana panjang. Artinya, ia memakai celana panjang sebagai konsekuensi karena kualitasnya telah memenuhi syarat untuk duduk di SMA. Semoga Kulonprogo dengan pucuk pimpinan baru akan lebih cepat naik kelas. Kuncinya adalah, kepemimpinan yang baru mampu menghantar rakyat Kulonprogo mengikuti gerak dinamis arus modernisasi dengan bekal penguatan masyarakat lokal.***

Selasa, 19 Juli 2011

Politik Biaya Tinggi

Oleh : Marwanto
(Dimuat Harian Jogja, 17 Juli 2010)

Akhir-akhir ini banyak kritik yang dialamatkan pada mekanisme pemilihan langsung (baik itu pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah dan kepala negara/presiden). Salah satu kritik yang paling santer adalah bahwa pemilihan langsung memakan biaya yang sangat tinggi. Biaya tinggi tersebut dikawatirkan akan membawa dampak negatif terhadap kepemimpinan yang terbentuk lewat mekanisme pemilihan langsung tadi.
Meski mekanisme pemilihan langsung punya beberapa sisi positif (misalnya lebih demokratis dan pemimpin yang terpilih memiliki legitimasi kuat), tetapi dalam realitanya sang pemimpin terpilih tadi tidak bisa menyelenggarakan kepemimpinan secara efektif. Hal ini karena sang pemimpin menanggung beban terhadap biaya besar yang dikeluarkan saat mencalonkan.
Biaya tersebut dikeluarkan calon untuk meraih dukungan pemilih dan partai politik (parpol) yang mengusungnya. Dalam konteks Pilkada, walau ada peluang jalur independen namun faktanya parpol tetap sebagai kendaraan utama. Karena banyak tokoh yang mengincar untuk maju di Pilkada, parpol pun akhirnya “dijual” dengan harga selangit.
Tingginya biaya tersebut diperberat kondisi riil bahwa sebagian besar pemilih bersikap pragmatis. Pemilih cenderung memilih calon (pemimpin) yang mampu “memberi sesuatu”. “Sesuatu” itu bisa berujud uang atau benda, yang intinya alat untuk memengaruhi pemilih. Inilah substansi politik uang (money politic) yang kini marak terjadi pada setiap pemilihan pemimpin publik.
Ketika proses pemilihan pemimpin publik mengharuskan biaya tinggi, sebetulnya pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak “bersih”. Tidak bersih dalam pengertian, ia telah dibebani tanggungan berupa besarnya biaya yang digunakan saat proses pemilihan berlangsung. Kalaupun seorang calon tidak mengeluarkan biaya dari sakunya, biasanya ada sponsor (botoh) yang mencukupi. Kalau ini yang terjadi, sebenarnya ia juga tidak “bersih” –sebab ia akan punya keterikatan (kalau tidak bisa disebut ketergantungan) kepada sang botoh, sebagai bentuk balas budi atau deal yang terjadi sebelum proses pemilihan.
Alhasil, ketergantungan tersebut sangat memengaruhi kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin. Pertimbangan yang digunakan untuk mengambil kebijakan tak lagi sepenuhnya mengacu pada kemaslahatan bersama. Tapi, lebih pada bagaimana kebijakan tersebut bisa macth dengan kebutuhan dua keterikatan tadi. Maka lahirlah kebijakan yang berbau KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Disamping itu, pemimpin yang lahir dari ongkos biaya politik tinggi dipastikan sulit memiliki jiwa pengabdian yang total terhadap jabatan yang diemban. Sorang pemimpin, selain individu yang karena jabatannya diberi kewenangan (kekuasaan), hakekatnya adalah seorang pelayan bagi publik. Pemimpin adalah orang yang diberi mandat oleh rakyat untuk mengambil tindakan dalam rangka mensejahterakan mereka. Dalam konteks ini, maka pengabdian adalah moralitas yang mendasari etos dan kinerja kepemimpinan.
Kepemimpinan yang tercerabut dari moralitas pengabdian pada akhirnya akan membawa dampak fatal: gagal mengimplementasikan tujuan fitrahnya. Kepemimpinan yang jauh dari tujuan semula, yakni mengabdi dalam rangka mensejahterakan rakyat.
Dari problem di atas, agaknya sudah menjadi kebutuhan urgen untuk menciptakan sistem pemilihan langsung yang tidak saja menjamin kompetisi sehat antar kontestan, tapi sebuah pemilihan yang disertai aturan yang punya korelasi langsung menekan politik biaya tinggi. Ihktiar untuk itu bisa diawali dengan membuat regulasi tentang money politics yang rigid dan tegas.
Jika kita amati, aturan money politic yang ada saat ini cenderung bias. Terlebih, sanksi untuk menjerat pelakunya sulit dilaksanakan. Mengapa setiap kali regulasi pemilu direvisi klausul yang mengatur money politics tetap bias? Hal ini mudah ditebak: undang-undang adalah produk hukum dari DPR yang notabene anggotanya terdiri partai politik yang juga kontestan pemilu. Bagaimana para anggota dewan akan membuat aturan yang tegas untuk (menjerat) mereka sendiri?
Melihat realitas demikian, ikhtiar mencegah praktik money politics mau tak mau dibebankan pada Peraturan KPU yang merupakan derivasi dari undang-undang pemilu. Sebagai penyelenggara, KPU dapat membuat peraturan terkait teknis kepemiluan, termasuk yang memuat klausul larangan money politics secara lebih detil, rigid, tidak multi tafsir serta dapat diimplementasikan di lapangan. KPU diharapkan dapat melakukan hal ini secara maksimal, mengingat anggotanya terdiri dari orang independen.
Selain yang berkaitan langsung dengan larangan money politics, perlu juga dibuat aturan mengenai pembatasan belanja kampanye. Hal ini sudah dilakukan di Filipina dan Kanada, dan terbuktif efektif menekan biaya politik. Di undang-undang pemilu kita yang diatur hanya batasan sumbangan pihak ketiga kepada kontestan pemilu. Regulasi ini tidak secara langsung berimplikasi menekan politik biaya tinggi sehingga ke depan perlu ada klausul tambahan tentang batasan belanja kampanye untuk kontestan pemilu.
Jika semua pihak punya komitmen menekan politik biaya tinggi dalam pemilihan langsung, niscaya akan tergelar hajat demokrasi elektoral yang memungkinkan tampilnya pemimpin ideal. Pemimpin yang tidak hanya mengandalkan kekuatan modal finansial, tapi visioner dan berkarakter.***

Rabu, 07 Juli 2010

Cerpen

Perempuan yang Diam Di Jembatan
( dimuat Koran MERAPI, 4 Juli 2010)
Cerpen Marwanto

Perempuan itu berangkat di pagi hari. Ketika sorot matahari masih menerobos pucuk-pucuk dedaunan. Dan ayam tetangga baru saja keluar dari kandang. Sambil menggandeng tangan Tole, anaknya yang tadi menghabiskan dua potong ketela, ia menggendong kayu bakar untuk dibawa ke pasar dekat terminal.
Menempuh jarak tiga kilometer tentu bukan perjalanan yang singkat. Apalagi sesekali Tole minta berhenti saat kakinya kelu dan wajahnya pucat. Sebenarnya sudah berulangkali emaknya melarang Tole ikut ke pasar. Tapi, di rumah hanya ada nenek yang jalannya sudah gemetar. Dua kakaknya telah bersiap ke sekolah. Tole tak mau kesepian, tak ingin pula resah. Ia ingin di pasar: yang banyak orang, jajanan, mainan, dan segalanya yang serba meriah.
“Tapi awas lho, jangan minta macam-macam ! Uang emak cuma cukup buat beli sayur dan tempe.” Pesan rutin emaknya sebelum berangkat.
“Iya, Tole cuma mau lihat orang jual mainan. kok”
“Boleh lihat, tapi jangan lama-lama”
Matahari sedikit di atas pucuk-pucuk daun kelapa. Hampir dua kilometer mereka meniti jalanan beraspal tanpa sandal. Keringat mulai mengucur dari wajah perempuan setengah baya itu. Belum, perempuan itu belum genap empat puluh tahun. Tapi semenjak ditinggal mati suaminya, ia jauh tampak lebih tua dari umur sebenarnya. Sesekali ia usap keringat yang meleleh di pipi tanpa bedak itu dengan sisa selendang yang digunakan untuk menggendong kayu bakar.
“Mak, nanti kita istirahat sebentar di jembatan ya ?”
Perempuan itu menjawab singkat” “he-em”. Lalu dari sorot matanya terlihat jelas lukisan peristiwa di masa silam. Setahun yang lalu, terjadi di lokasi pembuatan jembatan baru itu. Tak lama setelah anaknya yang pertama masuk SMP dan mertuanya keluar dari rumah sakit. Tapi takdir memang urusan Tuhan. Dan sejak itu ......
“Mak, kita sampai. Hore....hore....”
Suara Tole membuyarkan lamunan. Bocah itu berlarian kecil mendapati pemandangan yang diimpikan sepanjang perjalanan. Bola matanya tak hendak lepas dari mesin pengangkut alat berat yang tiap harinya mengerjakan pembangunan jembatan. Jembatan baru yang dibangun bersebelahan dengan jembatan lama karena bagian tengahnya ambrol lebih dari empat tahun lampau. Meski jembatan itu tergolong vital (penghubung satu-satunya jalur selatan Yogyakarta – Purworejo, Jawa Tengah), pemerintah propinsi sepertinya lamban menangani masalah ini. Dan selama empat tahun terakhir di atas bagian yang ambrol itu hanya dipasang papan dari kayu, sehingga cuma kuat dilewati mobil dan motor. Bus dan truk sudah lama absen dari tempat itu.
Dua tahun lalu jembatan baru itu mulai dibangun. Mengambil lokasi sekitar satu kilometer sebelah selatan jembatan lama yang telah rusak menahun. Tapi pengerjaan nya terkesan lamban. Tak ada yang tahu persis penyebabnya. Yang ada cuma praduga. Mungkin karena pembebasan tanah di sekitar bibir sungai yang berjalan alot. Mungkin karena pembangunan jembatan terpanjang di Jawa itu merupakan mega proyek sehingga deal-deal di tingkat atas begitu rumit. Ah, entahlah. Namun di kalangan masyarakat awam terlanjur beredar kabar bahwa lokasi pembuatan itu tidak tepat. Sebab menerjang “rumah buaya putih” yang terletak di tengah sungai
Mitos adanya makhluk halus bernama buaya putih itu memang diyakini betul oleh masyarakat sekitar. Semula pimpinan proyek memandangnya cuma semacam kelakar. Tapi, ia mulai berpikir lain, ketika di lokasi tersebut sering terjadi peristiwa aneh. Misalnya, tiba-tiba truk pengangkut beton macet tanpa sebab yang jelas. Dan, yang membuat miris banyak orang, di lokasi itu telah menelan korban lima orang kuli meninggal. Ah, mungkin kurang tepat jika disebut meinggal, tapi hilang. Ya, jasadnya mukswa (hilang) entah kemana.
Ketika dikonsultasikan ke “orang tua”-- orang yang dipandang punya “ilmu linuwih” -- disarankan supaya lokasi pembangunan jembatan itu dipindah. Maksudnya, lebih merapat ke jembatan lama, agar tak berpapasan dengan “rumah buaya pituh” yang membikin resah.
“Apa Simbah tidak bisa menjinakkan buaya putih itu ?”, tanya pimpinan proyek saat menghadap “orang tua” tadi.
“Wah, berat Tuan. Setahu saya, semua “orang tua” yang ada di Jawa ini tak ada yang mampu. Tapi, sebentar.....”
Orang tua itu berpikir keras. Keningnya yang sudah berkerut tambah sengkarut. Ia hendak mengemukakan sesuatu, tapi ada ragu.
“Tapi apa Mbah.....?”
“Emm, semoga saya tidak kuwalat. Kalau Tuan berani... Tapi kalau Tuan berani....”
“Kalau berani apa Mbah?”
“Kalau Tuan berani coba saja sowan Ngerso Dalem...”
“Lho, apa hubungannya ?”
Lalu orang tua itu menerangkan bahwa “buaya putih” itu hanya bisa dijinakkan oleh Kanjeng Ratu Kidul. Dan, semua orang Yogya maklum, bahwa Ngerso Dalem punya hubungan khusus dengan penguasa pantai selatan itu. Tapi entah mengapa pimpinan proyek tak juga datang konsultasi pada Ngerso Dalem. Akibatnya, ketika dengar pendapat dengan anggota Dewan tentang pengalihan lokasi pembangunan jembatan itu, ia dibantai kiri-kanan. Terang saja banyak anggota Dewan yang gerang sebab sudah berapa ratus juta anggaran dihabiskan secara mubadzir. Sampai akhirnya lokasi pembangunan jembatan itu pindah, tak ada yang tahu persis penyebabnya.
Sejak lokasi dipindah, pembangunan jembatan itu tampak lebih cepat dan mudah. Terlebih, orang-orang di sekitar banyak yang berdatangan. Tiap pagi dan sore di sepanjang jembatan lama itu tak pernah sepi dari orang yang bertandang. Walhasil, lokasi itu telah menjadi tontonan gratis masyarakat sekitar. Hilir mudik mesin-mesin berat dan para kuli, beton-beton raksasa membujur, ditengah hamparan sungai terlebar di Jawa dan pemandangan lepas ke selatan samudera putih nan luas, adalah satu rangkaian harmoni yang menghibur setiap pengunjung.
Perempuan itu, emaknya Tole, tak luput menjadi salah satu dari sekian puluh orang yang ikut berjejal. Apalagi ketika suaminya belum lama dinyatakan meninggal. Perempuan itu hampir tak pernah absen. Berdiri di tepi jembatan dengan tatapan mata mengarah ke tengah sungai. Sambil hatinya risau menerka: dimanakah gerangan suaminya itu mukswa. Bahkan sampai hari ke seratus sejak suaminya mukswa, hati perempuan itu masih tertambat di jembatan: setia menunggu.
Tapi kehadiran Teguh mengacaukan semuanya. Ya, ia adalah lelaki yang gagal mendapatkan cintanya. Sejak urung kawin dengan perempuan itu, hingga kini Teguh tetap membujang. Dan ketika Teguh mulai bergabung sebagai kuli seminggu yang lalu, perempuan itu menjadi jengah untuk melamun di tepi jembatan. Ia merasa tak nyaman melamunkan suaminya sementara ditengah-tengah kuli yang sedang bekerja ada Teguh -- berdiri dengan sorot tajam dan senyum hendak merengkuh.
Akhirnya perempuan itu memutuskan untuk tak lagi melamun di tepi jembatan. Ia hanya akan datang ke lokasi itu saat pagi masih suci. Belum dijarah oleh kuli-kuli. Baru ada kabut, dan sedikit orang lalu lalang hendak ke pasar atau kantor dengan laju kendaraan agak tergesa dan ngebut. Bukan kuli, apalagi Teguh yang kini ia waspadai. Seperti di pagi itu, ketika untuk kesekian kali ia melihat Tole riang berlarian kecil dan menari-nari.
Tubuh mungil bocah itu, bagai tupai yang melompat di dahan kelapa, dengan lincahnya menyelinap menyusuri keramaian pejalan kaki dan kendaraan yang lewat. Perempuan itu seakan lepas dari beban melihat buah hatinya riang-gembira. Ia turunkan kayu bakar dari gendongan. Lalu, matanya tak berkedip menatap ke tengah sungai. Ya, tempat yang diperkirakan sebagai rumah buaya putih dimana suaminya mukswa. Ia hanyut dalam kenangan.
Namun lamunan itu pecah oleh derit ban yang direm mendadak. Perempuan itu segera menoleh ke arah suara. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika melihat Tole tersungkur dengan kepala bersimbah darah. Lalu berguling-guling dan akhirnya mencebur ke sungai. Tanpa melihat kiri-kanan perempuan itu mengambil langkah seribu. Dan ketika sampai di tempat anaknya tersenggol mobil, dilihatnya Tole telah lenyap digulung ombak sungai.
Orang-orang berkerumun histeris, lalu memberi komentar sesukanya.
“Anak itu telah menyatu dengan bapakya di rumah buaya putih.....”
“Ya, daripada melihat emaknya ada apa-apa dengan Teguh .....”
“Tapi, mengapa masih ada korban jatuh ?”
Beberapa bulan kemudian, ketika acara peresmian jembatan dilangsungkan, diantara ratusan pengunjung yang berjejal, perempuan itu – emaknya Tole – seakan ingin maju mendekat pejabat yang menggunting pita. Lalu dengan iba bercampur amarah ia akan bertanya: “Mengapa selalu ada korban yang jatuh ?”***

Senin, 05 April 2010

Opini

Demokrasi Kerumunan
Oleh MARWANTO
(Dimuat Harian KOMPAS hlm Yogya-Jateng, 15 Maret 2010)

Seiring maraknya praktik demokrasi elektoral (Pemilu, Pemilukada, serta Pilkades), gugatan atas kriteria pemilih pun dilontarkan. Hal ini didasari atas argumentasi bahwa demokrasi yang menerapkan mekanisme pemilihan langsung kurang menjamin munculnya wakil rakyat dan pemimpin berkualitas. Bagaimana bisa kualitas seorang pemimpin ditentukan oleh pilihan publik dengan perolehan suara terbanyak?
Konon, pada zaman Yunani kuno praktik berdemokrasi (termasuk pemilu), hanya melibatkan apa yang disebut sebagai “warga negara resmi”. Rakyat jelata, atau lebih tepatnya budak, tidak diikutkan dalam pemilu. Demokrasi Yunani kuno beranggapan masalah politik kenegaraan lebih tepat jika diputuskan oleh orang-orang yang memiliki pandangan tentang kebajikan hidup.
Mirip hal tersebut, dulu di berbagai wilayah tanah air saat melangsungkan pemilihan pemimpin adat acapkali dilakukan dalam sebuah rembug (musyawarah) yang dihadiri oleh utusan tokoh-tokoh masyarakat. Sementara di era Orde Baru, kita tahu, mekanisme demokrasi perwakilan ini dipraktikkan MPR untuk memilih presiden dan DPRD untuk memilih kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota).
Gelombang demokratisasi awal abad 21 ternyata membawa tren mekanisme pemilihan langsung. Demokrasi perwakilan dianggap bias (bahkan gagal), karena wakil rakyat di parlemen yang diharapkan memperjuangkan aspirasi warga malah berkiblat pada kepentingan partai politik. Oligarki parpol ini membuat pemilihan pemimpin tak lebih sebagai praktik dagang sapi para elit parpol.
Namun ketika hasil pemilihan langsung tak juga kunjung berkorelasi positif dengan kesejahteraan, maka yang kemudian muncul tidak saja polemik seputar mekanisme pemilihan, tapi juga filosofi yang mendasari definisi pemilih (warga yang dilibatkan pemilu). Pihak yang setuju “membatasi” pemilih atau mendukung mekanisme pemilihan tidak langsung (perwakilan) memiliki argumentasi berikut.
Pertama, warga yang terlibat proses pemilu pada hakekatnya menanggung sejumlah konsekuensi. Diantaranya konsekuensi terhadap pilihannya. Lebih jauh lagi, konsekuensi terhadap kekuasaan yang terbentuk dari hasil pemilu. Artinya, warga sebagai pemilih semestinya juga terlibat aktif mengawasi pemerintahan hasil pemilu. Konsekuensi ini sangat berat jika ditanggung warga negara biasa, apalagi budak.
Kedua, membatasi keterlibatan warga dapat menekan biaya pelaksanaan pemilu. Ditengah citra mahalnya biaya demokrasi hal ini menjadi relevan. Dengan kata lain, pelaksanaan pemilu yang berbiaya rendah dan berlangsung efisien-efektif, sekaligus sudah mampu melahirkan kekuasaan legitimet yang mengemban amanat konstituen dalam rangka menyejahterakan rakyat.
Ketiga, hasil pemilu dapat dipertanggungjawabkan. Karena pemilih adalah warga terdidik (cerdas), maka selain persentase suara tidak sah sedikit, pilihan mereka juga diharapkan menghasilkan wakil rakyat (pemimpin) yang berkualitas. Pemilu 2009 di negera kita, yang punya slogan: pemilih cerdas memilih wakil berkualitas, agaknya terinspirasi dari sini.
Sementara mereka yang tidak setuju “pembatasan” pemilih akan berdalih bahwa hak pilih itu seharusnya berlaku universal. Semua warga negara –tanpa pengecualian yang bersifat ideologis dan politis—seharusnya berhak menjadi pemilih dalam pemilu. Pengakuan hak pilih universal ini menjadi salah satu syarat sebuah pemilu yang demokratis (Eep Saifullah Fatah, 1998: 101).
Dua pandangan tersebut tidak seharusnya diposisikan berhadapan secara diametral dan kaku. Praktik pemilu di zaman Yunani kuno yang mengharuskan pemilih adalah “warga negara resmi” mesti dimaknai bahwa pemilih dalam pemilu haruslah warga bangsa yang terdidik. Untuk itu pendidikan pemilih diharapkan menjadi ruh bagi penyelenggaraan pemilu.
Pendidikan pemilih merupakan agenda kepemiluan yang berlangsung terus menerus. Selain itu pendidikan pemilih adalah agenda yang terintegrasi sehingga bisa berdampak efektif dalam rangka melahirkan pemilih cerdas dan bertanggung jawab yang pada akhirnya dari pilihan mereka muncul pemimpin (wakil rakyat) berkualitas.
Makna integral pendidikan pemilih tidak saja dilihat dari aspek pelaku bahwa perlu menciptakan sinergisitas antara penyelenggara (KPU), pemerintah, partai politik dan stake-holder (pemangku kepentingan). Lebih dari itu, pendidikan pemilih semestinya diletakkan menjadi bagian pendidikan politik atau pendidikan kewarganegaraan yang lebih luas. Sebuah upaya untuk menumbuhkan kesadaran warga bangsa mengenai aspek-aspek kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Disamping pendidikan pemilih, agenda dalam rangka pembenahan kualitas praktik demokrasi elektoral juga perlu dari sisi kontestan pemilu. Secerdas apapun rakyat (pemilih), tidak akan ada artinya jika pemilu hanya diikuti oleh kontestan yang hanya menebar popularitas dan menomorsatukan kekuatan finansial, bukan kontestan yang mengandalkan aspek moralitas, integritas dan kualitas personal.
Agenda ini tidak hanya dalam rangka menyiapkan pemilih berkualitas menyongsong Pemilu 2014 dan pemilukada di sejumlah daerah. Bukan pula hanya untuk mendongkrak partisipasi pemilih yang terus menurun. Tapi sebuah agenda mendasar dalam rangka menyelamatkan pemilu. Agar mekanisme pemilihan langsung tidak hanya menghasilkan “demokrasi kerumuman”: asal besar dan banyak maka terpilih.
Demokrasi kerumunan harus kita cegah mulai hari ini. Sebab prinsip asal besar dan banyak maka terpilih (menang) sejatinya telah mendistorsi esensi demokrasi.

Senin, 08 Maret 2010

O P I N I

Menangkal Logika Dagang Pilkada
Oleh: Marwanto

( Dimuat Harian Jogja, 1 Maret 2010 )

Salah satu yang dikawatirkan banyak pihak pada pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung adalah maraknya praktik politik uang (money politics). Bagi rakyat, politik uang dalam pemilihan jabatan publik sebenarnya bukan hal baru. Sebab jauh sebelum munculnya era reformasi, mereka telah puluhan tahun melakukan pemilihan langsung kepala desa (Pilkades) yang notabena juga tak lepas dari praktik politik uang.
Konon ada anggapan umum bahwa seorang yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala desa (Kades) harus memiliki “Tiga B”. Pertama bandha yang berarti harta atau uang. Seorang Kades harus punya harta yang banyak. Harta akan sangat mendukung kerja operasional sang calon. Salah satunya, tak dipugkiri lagi, untuk melakukan moey politics.
Kedua, bandhu yang berarti keluarga (keturunan). Dengan memiliki latar belakang keluarga besar, sang calon sudah mengantongi modal awal suara (pemilih) yang militan. Sebab tradisi orang Jawa ketika hendak memberikan suaranya dalam bilik ia akan menggunakan idiom: tega larane ora tega patine. Selain modal suara militan, adanya keluarga besar juga mempermudah dan sangat efektif sekali untuk memperluas jaringan.
Ketiga, bandhit atau arti leterleknya penjahat. Mungkin dapat dimaksudkan sebagai orang yang punya pengaruh. Untuk konteks saat ini barangkali bisa diartikan sebagai satgas atau semacam pasukan pengaman. Modal terakhir ini berperan dalam banyak hal. Mulai dari mengamankan posisi sang calon, mengintimidasi warga, dan bisa juga pendamping (bahkan pelaksana) dalam melakukan serangan fajar.
Dalam konteks Pilkada, kiranya tak terlalu berbeda jauh dengan praktik Pilkades di atas. Seorang yang hendak maju mencalonkan diri --baik untuk jabatan gubernur, bupati maupun walikota-- adalah orang yang mempunyai kekayaan dan jaringan. Sementara untuk syarat lain seperti visi, misi, karakter, serta integritas (kepribadian) sang calon, seakan menjadi syarat nomor sekian.
Pendek kata, asal punya uang yang banyak, maka syarat lain bisa tercukupi. Uang bisa untuk membentuk jaringan, membeli orang membuatkan visi-misi, dan menutup mata orang untuk melihat karakter dan kepribadian sang calon. Dari sinilah sebenarnya politik uang itu berpangkal.
Untuk konteks Pilkada, politik uang itu paling tidak terjadi pada dua ranah. Ranah pertama ada di tubuh partai politik. Hal ini mulai berlangsung saat proses penjaringan bakal calon (balon).
Ketentuan pasal 59 (ayat 1) UU No. 32 tahun 2004 yang menyebutkan: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”, memang telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi nomor 005/PUU-VII/2005. Sehingga dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2008 (yang merupakan perubahan atas UU No. 32/2004) dimungkinkan munculnya pasangan calon independen (tidak diusung lewat partai politik).
Namun demikian posisi parpol tetap menjadi “gadis cantik” yang mendapat pinangan banyak pihak. Jika kita simak proses penjaringan pasangan calon Pilkada di tiga kabupaten (Sleman, Bantul dan Gunungkidul) maka fakta itu akan terbukti. Sejumlah parpol (terutama parpol besar) menjadi rebutan banyak tokoh yang hendak mencalonkan diri. Sementara untuk jalur perseorangan, sepertinya hanya menjadi pilihan terakhir jika seorang gagal mencalonkan diri lewat jalur parpol.
Logikanya, sebuah parpol yang diincar banyak calon akan menerapkan sejumlah syarat. Disamping memiliki visi, misi dan kualitas pribadi, seorang tokoh yang hendak melamar juga disyaratkan punya “gizi”. Syarat “gizi” ini kadang tak diatur “secara resmi”. Beberapa parpol hanya menyebut adanya uang pendaftaran dan nominalnya relatif kecil. Namun, seakan sudah menjadi rahasia umum, bahwa transaksi di belakang layar acapkali mencapai jumlah yang mencengangkan.
Langkah untuk menangkal politik uang pada ranah ini adalah memperkuat posisi anggota (konstituen) partai agar dapat berpartisipasi menentukan calon terbaik yang akan diusung partainya. Sebuah partai bisa menggunakan cara konvensi yang melibatkan sebanyak mungkin pengurus dan anggota untuk menjaring calon. Pendek kata, pengurus dan konstituen partai harus diberi hak untuk terus mengawasi mekanisme penjaringan calon.
Jangan sampai idealisme partai dalam menjaring calong dikalahkan oleh fakor uang semata. Kalau logika dagang yang menang sehingga aspirasi konstituen ditinggalkan, tidak saja akan menciderai regenerasi dan rekruitmen dalam tubuh parpol yang bersangkutan. Hal ini juga menunjukkan kegagalan regenerasi dan rekruitmen politik dalam tubuh parpol. Padahal regenerasi dalam tubuh parpol menjadi salah satu modal untuk regenerasi kepemimpinan nasional.
Sementara ranah ke dua, praktik politik uang di Pilkada bisa terjadi di lapisan masyarakat bawah (massa pemilih). Politik uang di ranah ini tak kalah dahsyatnya. Konon, sekitar 60% sampai 70% modal dari sang calon habis (disebarkan) untuk politik uang di itngkat grass-root.
Cara untuk menangkal politik uang di tingkat grass-root, mau tak mau harus memperkuat posisi masyarakat sipil. Tapi masyarakat sipil tersebut adalah yang terorganisir dan membentuk dirinya dalam wadah-wadah pengawasan atau pemantaun Pilkada. Kinerja dan gerak mereka juga akan lebih efektif jika wadah (organisasi) itu tadi berisi atau mencakup semua segmen masyarakat yang ada dan betul-betul menjaga netralitasnya dengan semua calon.
Dari situlah sebetulnya, peran Pilkada selain untuk menumbuhkan demokratisasi di tingkat lokal, juga bisa memperkuat esksistensi masyarakat sipil lokal. Masyarakat sipil lokal akan terbiasa untuk memperjuangkan hak-hak politik warga dengan cara menekan seminimal mungkin logika dagang dalam Pilkada. Disamping itu, masyarakat sipil lokal juga akan terbiasa mengelola konflik. Menejemen konflik yang baik merupakan salah satu syarat kedewasaan masyarakat sipil ketika bersinggungan dengan proses politik.
Jadi, pengefektifan kontrol konstituen parpol dan penguatan masyarakat sipil sama pentingnya dan harus bekerja sinergis untuk menangkal logika dagang dalam Pilkada. Jika logika dagang dalam Pilkada dapat diminimalisir harapan kita perilaku korupsi juga akan berkurang. Sebab, konsentrasi kerja kepala daerah yang terpilih tidak hanya memikirkan bagaimana modal yang dipakai dalam Pilkada bisa kembali. Rakyatlah yang menjadi prioritas utama.***

CERPEN

Ombak Pantai Hawaii
Cerpen Marwanto
( Dimuat MINGGU PAGI, Minggu IV Desember 2009 )

“Sudah dulu ya Ma. Cium jauh, cupp emmmuah……..”
Mata Nurhana berkaca-kaca. Ia letakkan hanphone di atas meja dekat tempat tidurnya. Telpon genggam itu kini bersanding dengan photo dan beker yang menunjuk pukul dua pagi. Di luar suara jangkrik terdengar merajam hati. Lalu kesunyian yang hampir membeku, mengiringi Ana melamunkan perairan Hawaii.
Mungkin di Hawaii sekitar jam dua siang. Tentu Tono, suaminya yang bekerja di kapal pesiar sebagai juru masak, kembali melanjutkan rutinitasnya: mengangkut barang-barang milik para pelancong. Ya, dua bulan lalu Tono memberitahu Ana kalau waktu senggangnya dipakai buat kerja sambilan membantu para pelancong membawakan barang-barangnya. Hasilnya lumayan, duapuluh dolar perjam. “Lumayan kan Ma, bisa untuk nelpon ke rumah”, Tono memberikan alasan.
“Ah, Papa. Kau pasti tambah berotot berkat sambilanmu itu”, batin Ana sambil mengusap foto suaminya. “Tapi itu lebih baik, daripada buat mikirin macam-macam. Laki-laki itu jangan terlalu banyak punya waktu luang”, Ana melanjutkan kata hatinya.
Lamunan Ana terusik suara tangis si kecil Ade. Melihat anaknya menangis, Ana segera merapatkan selimut yang membungkus bocah dua tahun itu. Tapi Ade meronta: “Maa....mimik cucu, mimik cucu Ma, mimik...”. Ana kemudian menggendong bocah itu dan berjalan menuju kamar pembantu yang terletak di dekat dapur.
“Mbok Jum, tolong buatkan susu !”
Selama pembantu itu membuat susu, tangis Ade tak juga berhenti. Ini membuat Anggi, kakaknya, terbangun. Bocah lima setengah tahun itu bangkit dari ranjang lalu mengusap-usap matanya. Saat Ana kembali ke kamar dan menemuinya, Anggi langsung mengajukan pertanyaan sebagaimana malam-malam sebelumnya.
“Papa telpon lagi ya Ma?”
“Iya”
“Kapan sih Papa pulang? Anggi sudah rinduuu... banget.”
“Tidak lama Papa juga akan pulang, sayang. Mama juga kangen, kok. Sekarang kamu tidur lagi, ya.!”
Anggi segera memeluk boneka kesayangannya. Lalu terlelap bersama mimpi indahnya. Mungkin ia memimpikan pantai Hawaii, dengan penjaga pantainya yang cantik-cantik seperti sering ia lihat dalam sebuah film seri di televisi itu.
Begitu Mbok Jum mengantar botol susu ke kamar nyonya rumah, Ana langsung melatakkan buah hatinya itu dengan sangat hati-hati agar bisa lekas tidur. Lalu sebagaimana biasa, bersamaan dengan habisnya sebotol susu, bocah yang lahir saat ayahnya sedang di Hawaii itu langsung tertidur pulas.
Dan pagi kembali sepi. Lamunan Ana kian meninggi. Tak bertepi. Suara jangkrik yang diiringi detak beker membuat Ana sulit memejamkan mata. Ia kembali membayangkan perairan Hawaii, yang belum pernah ia kunjungki. Tapi, seperti juga Anggi, lewat salah satu film seri di televisi Ana bisa merasakan alam Hawaii. Pantai eksotik yang indah nan ramai. Sesuatu yang bertolak belakang dengan suasana hatinya: dingin dan sepi.
Sepinya pagi menggerakkan tangan Ana meraih remote tape-recorder. Tak lama kemudian terdengar sayup-sayup suara lembut Celine Dion melantunkan Power of Love. Itulah pelipur Ana satu-satunya saat ia sulit tidur selepas merima telpon dari Tono. Lagu yang disukainya, juga disukai Tono. Lagu yang menguatkan dua hati yang berpisah
***
Saptono melamar Nurhana tujuh tahun silam setelah menamatkan kuliahnya di akademi perhotelan. Sebuah akademi yang menurut ibunya hanya memproduk “babu bagi turis-turis”.
“Jadi babu ndak masalah to Bu. Asal bisa kaya.”, kilah Tono waktu itu. Dan benar, selepas lulus ia langsung mendapat kerjaan sebagai juru masak di sebuah hotel berbintang tiga di kota. Dia ngelajo menjalani pekerjaannya, dan memilih tinggal di desa kelahirannya. Sebab gaji sebagai juru masak akan lebih berarti jika dipakai hidup di desa. Tak hanya berarti, tapi bisa dibilang lumayan tinggi -- apalagi untuk sebuah keluarga baru.
Namun Tono tetap belum puas dengan profesinya sebagai juru masak di hotel berbintang. Dia ingin membuktikan ucapannya: menjalani profesi sebagai babu atau jongos tidak masalah asal bisa kaya. Maka disela-sela menjalani pekerjaannya dia terus mencari informasi tentang pekerjaan di kapal pesiar. Dua tahun lalu Tono diterima dan berangkat kerja di kapal pesiar di sekitar perairan Hawaii, saat kandungan Ana menginjak bulan kesembilan.
“Kita akan baik-baik saja Ma. Percayalah, ini demi anak-anak dan masa depan kita. Pasrahkan saja pada yang di Atas. Dan.satu lagi… ingatlah selalu dengan lagu kita !”
Tono pergi dengan meninggalkan pesan yang tak hanya bergaung optimis, namun juga mengalun romantis. Tapi perempuan itu mendengarnya dengan hati yang teriris. Hari-hari menjelang kelahiran Ade dilalui dengan kesunyian dan beban berat. Dan saat kesunyian hati hampir mengantarnya ke jurang kegelapan, Power of Love itulah yang menahannya. Hati itupun kembali tegar. Ia ingat kata-kata Tono yang tertulis di sampul album lagu itu saat diberikan pada ultahnya yang keduapuluh tiga: “Sebuah lagu bukan sekedar kenangan, ia bagaikan busur yang meluncur tanpa ragu”. Kalimat yang membuat Ana tersenyum waktu itu (karena tak mutu pikirnya), tapi kini dirasakan mukjizatnya.
Kelahiran Ade sedikit mengobati kesunyian Ana. Wajah mungil yang masih suci itu menjadi pelipur hati tersendiri. Namun ini tak berlangsung lama. Setelah Ade bisa sedikit-sedikit berjalan, mulailah kerepotan Ana. Pendeknya, si Ade mulai membutuhkan perhatian ekstra. Sementara si Anggi belum sepenuhnya bisa “mandiri”. Seharian waktunya habis untuk mengurus kedua anaknya. Apalagi kalau si Anggi nakal, ia akan ingat suaminya. Sebab tak ada yang meluluhkan kenakanalan Anggi selain ayahnya.
Lama kelamaan Ana tak tahan juga dengan rutinitas hidupnya. Tapi mungkin benar kata pepatah bijak: dalam kesulitan itu ada kemudahan. Pun dalam kesusahan, selalu terbentang jalan menuju keceriaan. Dan di swalayan itulah barangkali Ana menemukan kembali keceriaan hidupnya yang selama ini musnah. Waktu itu ia sedang belanja bersama dua anaknya.
“Annaa......., Nurhana, ya ?”
Kening Ana berkerut sebentar, lalu berguman dalam tanya: “Dani …..?”
Agus Wardani adalah teman dekat Ana saat kuliah di akademi perbankan dulu. Mereka berdua lalu menceritakan keadaan masing-masing. Dani kini masih membujang dan bekerja di sebuah bank di kota kabupaten. Sementara Ana mengakui keadaan yang sebenarnya --maksudnya suaminya yang kerja di kapal pesiar. Termasuk rutinitas hidupnya yang melelahkan, membosankan, dan terhimpit sepi
“Mau bergabung dengan kami ?”
“Ah yang benar kamu ?”
“Serius. Perusahaan masih membutuhkan beberapa tenaga marketing. Yaaa.. tak seberapa sih gajinya. Apalagi kalau dibanding gaji suamimu yang hitungan dolar. Tapi percayalah, bisa untuk mengisi kesepian hidupmu.”
Setelah pertemuan itu Ana konsultasi dengan Tono. Dalam telpon, Tono menyetujui niat isterinya mengisi waktu luang dengan aktivitas di luar rumah. Atas kebaikan Dani, Ana pun kerja di bank itu. Sebagian gajinya untuk membayari pembantu, yang mengasuh Ade.
***
Ana tergagap dari lamunan saat suara adzan memanggil dari masjid dekat rumahnya. Ia memandang beker itu: jam empat lebih sepuluh menit. Ia bergegas mengambil air wudlu lalu sujud dua rakaat. Kemudian berdoa, mohon pada Allah agar diberi kekuatan lahir-batin dan keselamatan seluruh keluarga termasuk suaminya yang di rantau. Setelah itu ia harus menyiapkan segalanya. Keperluan sekolah buat Anggi, perlengkapan kerjanya, dan …... jawaban buat Dani. Ya, tiga hari lalu Dani mengajak Ana untuk menemaninya ke pesta resepsi salah satu koleganya di bank.
Ana merasa berat untuk menolak ajakan Dani. Tapi pergi berdua bersama Dani ke sebuah pesta resepsi jelas mustahil. Akhirnya Ana memutuskan untuk menolak ajakan Dani dengan alasan mau mengunjungi ibunya.
“Aduh gimana ya Dan. Ibu kemarin telpon mau ketemu Anggi dan Ade. Katanya beliau sudah rinduuuu banget sama cucunya. Tak baik kan menolak keinginan orang tua”
Dani tak bisa berbuat banyak. Dia sangat bisa mengerti segala alasan Ana. Bahkan sejak di bangku kuliah dulu, pengertian Dani lebih besar daripada yang dimiliki oleh Tono. Barangkali karena memang sudah nasib, akhirnya Ana jatuh ke tangan Tono. Tapi dasar jiwa seorang salles, Dani tak menyerah sampai di situ. Sebulan kemudian, di suatu sore, Dani mengajak Ana ke sebuah pameran pembangunan di kota kabupaten.
“Bisa kan nanti malam ?”
“Entahlah Dan. Emmm…..”
“Kalau kamu ragu, ajaklah Anggi, pasti dia senang.”
Kali ini Ana tak bisa mencari alasan. Ajakan Dani begitu mendadak. Ia bingung, dan terdiam sejenak. Ketika hendak mengemukakan suatu alasan, Dani terlanjur menutup pembicaraan dengan nada kalimat penuh optimisme seorang lelaki:. “Kalau begitu sampai nanti malam, daaah….”
Ana meletakkan telponnya sambil mengusap air mata. Juga mengusap photo Tono yang terletak dekat beker. Ia lalu meraih remote tape-recorder dan mengembara bersama lagu itu: Power of Love.
Pukul tujuh malam lebih sedikit pintu kamar Ana diketuk Anggi. “Ma, Mama… ada Om Dani. Katanya sudah janjian sama Mama…………”
Ana kembali mengusap-usap photo suaminya. Di sana tergambar debur ombak pantai Hawaii yang kini membuat gigil hatinya***

Cerpen

Lukisan Terakhir

Cerpen Marwanto

(Dimuat KR BISNIS, 22 November 2009)
Malam menunjuk pukul dua. Udara dingin menusuk tulang lewat pori-pori. Dan suara jangkrik di persawahan terdengar merajam hati. Hati lelaki yang kini terasa sulit merumuskan air mata. Meski telah menekuk tubuhnya di atas ranjang dan tak bangun lagi. Aatau bahkan berlari kencang di tengah padang tak bertepi. Yang pasti, malam berlalu begitu panjang. Dan lengang.
Malam-malam seperti itu, yang panjang dan lengang, sudah sewindu berlalu. Tepatnya, sejak ditinggal Sita, hidup lelaki itu tak menentu. Bagai layang-layang putus talinya. Hinggap di sembarang tempat. Tergantung angin. Kadang di trotoar. Sekali tempo mampir di terminal. Lain waktu mojok dengan anak-anak muda di pos ronda. Tapi uniknya: meski sering pulang larut malam ia tak lupa merenung sebentar sebelum tidur, sambil mencoret-coret beberapa kalimat --mungkin dimaksudkan sebagai puisi.
Dalam perenungan itulah Rama, lelaki tadi, sering teringat Sita. Gadis yang telah menemani hidupnya hampir tiga tahun. Bagi Rama, Sita adalah gadis pengertian, santun, jarang marah dan mudah memaafkan. Lebih dari itu, ia selalu dapat membaca hati Rama. Itulah sebabnya pengertian Sita melebihi gadis-gadis lain yang pernah dekat dengan Rama.
Masa lalu Rama tak lepas dari tiga hal: Sita, trotoar, dan lukisan. Ya, Rama adalah seorang pelukis wajah yang mengais rejeki di trotoar kota –profesi yang ia jalani setamat dari SMA. Sebenarnya Rama cukup beruntung memiliki kekasih macam Sita, yang mahasiswi dan cantik. Apalagi sepulang dari kampus Sita selalu mendampingi kekasihnya itu mengais rejeki di trotoar. Dan jika tak ada pesanan, Rama acapkali menjadikan kekasihnya itu sebagai model lukisan. Bagi Rama, kecantikan Sita tak habis-habisnya untuk dituangkan ke dalam kanvas. Seperti pemuda yang jatuh cinta memandang bulan purnama. Saat melukis wajah Sita itulah ekspresi dan semangat hidup baru muncul dari dalam jiwa Rama.
Tapi, kini semuanya berlalu. Musababnya sederhana: seorang bos perusahaan yang juga kolektor lukisan tertarik dengan lukisan wajah perempuan karya Rama. Ternyata ketertarikan bos tersebut tak berhenti di situ. Ia ingin sekali dikenalkan dengan model lukisan tadi, yang tak lain adalah Sita. Setelah keduanya berkenalan, malapetaka menimpa Rama. Sita yang selama ini dikenal sebagai satu-satunya gadis yang selalu bisa membaca hati Rama, ternyata gagal mempertahankan komitmen cintanya. Mungkin selama ini Sita adalah gadis polos yang cuma mengenal lingkungan kehidupan pelukis trotoar yang sederhana. Sita belum pernah merasakan empuknya duduk di jok Inova atau Grand Livina.
Kepergian Sita membekaskan luka teramat dalam bagi Rama. Ia merasa tak hanya dikhianati Sita, tapi dikhianati kecantikan. Dan ia pun berjanji untuk tidak lagi melukis keindahan. Rama tak percaya lagi pada kecantikan wajah. Baginya, kecantikan dan keindahan wajah seringkali menipu. Sejak itu ia pensiun melukis wajah. “Aku tak mungkin melukis kepalsuan !!”, jeritnya.
***
Sore itu kicau burung ramai bersautan. Di halaman belakang rumahnya, Rama sedang melukis pemandangan alam. Sejak pensiun melukis wajah, objek lukisan Rama pindah ke pemandangan. Bagi Rama, keindahan alam tak pernah menipu. Ia suci dan lugu. Tapi baru beberapa menit menorehkan kuasnya ke kanvas, pintu rumah ada yang mengetuk. Seorang laki-laki berpakaian perlente datang. Tamu itu ternyata seorang General Manejer di sebuah perusahaan real-estate. Bagas namanya. Kedatangannya bermaksud meminta Rama melukiskan wajah kekasihnya.
“Tapi Tuan, saya berjanji tak akan melukis wajah lagi”
“Tolonglah, saya mohon dengan sangat. Saya sudah jelajah ke seluruh penjuru kota. Ternyata, hanya Anda pelukis wajah yang punya jiwa.”
“Em….. tapi,”
“Coba dilihat dulu foto yang saya bawa ini...!”
Rama tercengang melihat kecantikan perempuan dalam foto itu. Lalu dengan tak sadarkan diri ia mengangguk-anggukan kepala. Bagas mengartikannya sebagai tanda setuju.
“Terima kasih, terima kasih. Kapanpun jadinya, saya akan menunggu.”.
Bagas berlalu. Mata Rama masih terpaku, menatap foto itu. Semburat masa lalu terbayang di wajahnya. Mendadak gairah baru muncul dalam jiwanya. Gairah yang menyeretnya untuk memegang kuas dan …. melukis wajah ! Tangan Rama seperti ada yang menggerakkan untuk terus menari-nari di atas kanvas melukis kecantikan bulan purnama. Dan akhirnya terciptalah sebuah lukisan yang amat indah. Ah, lebih dari indah. Lukisan itu alami dan hidup. Jika publik tahu, barangkali inilah lukisan yang paling menghebohkan dunia !
Pagi itu Rama bangun kesiangan. Semalam waktunya habis untuk memandangi hasil lukisannya. Lukisan itu hampir jadi. Ya, tinggal finishing touch atau sentuhan akhir yang akan menyempurnakan lukisan itu. Saat tangan Rama hendak mengusap wajah perempuan dalam lukisan itu, mendadak telpon genggamnya bergetar.
“Sudah Tuan, tinggal sentuhan akhir saja. Jum’at sore bisa di ambil”
“Terimakasih, terima kasih. Saya tak tahu harus membalas dengan apa budi baik Mas Rama.”
“Jangan terlalu dipikirkan Tuan, saya hanya ada satu syarat…”
“Katakan saja, jangan sungkan. Berapapun yang Mas Rama minta akan saya penuhi. Sepuluh juta, duapuluh, limapuluh atau bahkan….”
“Bukan soal rupiah Tuan..”
“Oya, lalu soal apa ?”
“Saya minta Tuan mengajak perempuan yang ada dalam foto itu saat nanti mengambil”
“Oke, tak masalah”
HP ditutup. Rama melemparnya ke tempat tidur. Tangannya kembali mengusap-usap wajah perempuan dalam lukisan itu. “Kutunggu kau Sang Putri”, desisnya dalam hati.
Pada hari yang ditentukan, Bagas datang bersama perempuan dalam foto itu. Di balik pintu regol rumahnya, Rama berdiri membelakangi tamunya. Bagas dan perempuan itu terkejut.
“Berhenti di situ Tuan !”
“Ada apa ini ?”
“Saya minta Tuan Bagas menunggu di sini. Saya akan membuat sentuhan akhir pada lukisan bersama perempuan itu !”
Bagas tak bisa menolak. Perempuan itu melangkah pelan –dari sorot matanya terpancar keraguan. Hatinya membisik: “Sepertinya aku tak asing lagi dengan suasana rumah ini, tapi…..”.
“Jangan ragu Sang Putri, ! Sliahkan, silahkan. Lukisannya ada di pendopo itu”
Perempuan itu meneruskan langkah. Pelan sekali. Ketika sampai di depan lukisan, mata mereka saling bertatapan --dan seperti ada tenaga ghaib yang membuat keduanya tak bisa berkedip.
“Saya akan melakukan sentuhan akhir pada lukisan ini, saya harap Sang Putri tak keberatan. “
Rama mendekat. Tangannya memegang pundak perempuan itu. Ditatapnya perempuan itu dalam-dalam, lama sekali. Lalu, sekali lagi, seperti ada tenaga gaib yang menggerakkan mereka untuk saling berdekapan. Berpelukan, erat sekali. Degup jantung mereka seperti air di ujung muara sungai ketika bertemu samudra. Lalu keduanya berguling-guling di lantai pendopo. Lantai yang saat itu berubah menjadi samudera dengan ombak yang rancak berirama. Dan, begitu ajaibnya, bersamaan dengan itu lukisan di samping mereka menjadi tambah indah, alami, dan hidup.
Di luar regol, Bagas sudah bosan menunggu. Ia masuk dan langsung menuju pendopo tempat lukisan itu dipajang. Ia takjub melihat keindahan lukisan perempuan itu: “Ah, ini bakal menjadi lukisan termahal di dunia”.
Tapi ketakjuban Bagas menjadi keterkejutan saat ia mendapati kekasihnya ber-pelukan dengan sang pelukis. Dan, tubuh kedua insan yang berpelukan telanjang itu ternyata sudah tak bergerak lagi. Mereka begitu damai menghempaskan nafas terakhir. Bagas sedikit cemas. Namun, logika dagangnya membuat pikirannya berbalik: masih banyak perempuan cantik, tapi tak banyak ada lukisan seindah ini.
“Saya akan menjadi kolektor terkaya”. Bagas menjerit sambil mengepalkan tangannya ke udara.
Tapi begitu Bagas hendak menyentuh lukisan terakhir karya Rama, pelan-pelan lukisan itu lebur --muksa bersama tubuh Rama-Sita.***